Jamaninfo.com, Jakarta – Pemilihan umum baru saja usai, kini masyarakat mendapat imbas berupa mahal dan langkanya bahan pokok. Akhir Februari ini, harga beras untuk jenis premium sudah menembus Rp18.000 per kilogramnya, dari sebelumnya Rp16.000 per kilogram. Sedangkan beras biasa awalnya Rp13.000 menjadi 16.000 per kilogram.
Sementara itu, harga cabai rawit pun meroket, naik dari Rp80 ribu per kilogram menjadi Rp100 ribu per kilogram. Belum lagi harga komoditas lain seperti cabai merah, daging ayam, bawang merah, bawang putih, daging sapi, gula pasir, hingga telur ayam.
“Pemerintah tak bisa tinggal diam saat melihat rakyat menderita seperti ini. Harus ada langkah yang benar-benar konkret dilakukan,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Kemandirian (DPP JAMAN) Iwan Dwi Laksono angkat suara atas kondisi perekonomian nasional yang sangat memukul masyarakat kalangan bawah ini.
Menurut JAMAN, anomali beras langka bisa terjadi karena berbagai faktor yang mempengaruhi produksi, distribusi, dan harga beras. Ada beberapa faktor yang menjadi acuan atas anomali ini, antara lain faktor produksi, faktor distribusi, faktor ekonomi, dan faktor kebijakan pemerintah itu sendiri.
Terkait faktor produksi, JAMAN meminta dilakukan pengecekan apakah di daerah lumbung-lumbung padi terjadi cuaca ekstrem yang luar biasa. “Berdasarkan informasi dan berita di media, cuaca ekstrem tidak terjadi di daerah lumbung padi. Demikian pula dengan penyakit tanaman, irigasi dan pemupukan yang terkait erat dengan proses produksi sangat lemah mengakibatkan anomali beras langka saat ini,” kata Iwan.
Sementara itu, faktor distribusi sangat berhubungan erat dengan kondisi jalan dan transportasi. Untuk situasi terkini, infrastruktur jalan tidak menjadi persoalan sebagai sarana dan prasarana.
Terkait faktor ekonomi, spekulasi pasar dan kondisi ekonomi global adalah indikator yang dipakai apakah anomali beras langka yang terjadi diakibatkan dua hal tersebut.
“Adanya spekulai pasar, tentu nya pelaku pasar akan selalu jeli membaca situasi ekonomi politik dalam maupun luar negeri, terkhusus Indonesia,” ungkapnya.
Iwan mengingatkan, Jokowi pernah mengatakan kita harus bersiap menghadapi kondisi ekonomi global yang bernama ‘krisis pangan’. Salah satu solusinya adalah kebijakan ‘food estate’ tetapi gagal.
“Saat ini ancaman krisis pangan bisa jadi nyata jika pemerintah salah urus, dan Jokowi sudah melakulan kesalahan tersebut,” tegasnya.
Terakhir, JAMAN juga menyoroti faktor kebijakan pemerintah. Di sinilah kesalahan fatal dilakukan Jokowi ketika menerapkan kebijakan bantuan sosial pangan berupa beras yang begitu kental dengan nuansa campur tangan politiknya tanpa memperhatikan lagi faktor penting ‘supply and demand’ bahan pokok bernama beras.
“Ketika anomali beras langka terjadi, dapat menyebabkan dampak yang signifikan bagi masyarakat, terutama bagi kelompok yang rentan terhadap fluktuasi harga pangan. Oleh karena itu, penting untuk memiliki sistem pemantauan dan respons yang efektif dari pemerintah dan stakeholder terkait untuk mengatasi anomali tersebut,” kata Iwan dengan berkali-kali menyesalkan adanya kebijakan pembagian bansos pangan yang dirapel beberapa bulan di depan demi mengejar momentum pemilihan umum lalu.(*)