Kementerian Perindustrian terus mendorong pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia. Hal itu lantaran industri tersebut berperan penting dalam memenuhi kebutuhan produksi di sektor manufaktur lainnya.
Dengan sifatnya yang padat modal, padat teknologi, dan lahap energi, pengembangan industri petrokimia perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.
“Industri petrokimia sebagai salah satu sektor hulu yang menyediakan bahan baku untuk hampir seluruh sektor hilir, seperti industri plastik, tekstil, cat, kosmetik hingga farmasi. Sehingga keberlanjutan dalam pembangunan industri petrokimia sangat penting bagi aktivitas ekonomi,” kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono di Jakarta, Senin (5/2).
Menurut Sigit, Indonesia telah menghasilkan beberapa produk industri petrokimia, namun jumlahnya masih belum memenuhi kebutuhan domestik yang cukup besar. Produk nafta cracker saat ini diproduksi nasional sebanyak 900 ribu ton per tahun, sementara permintaan dalam negeri 1,6 juta ton. Sedangkan, Singapura sudah memproduksi 3,8 juta ton dan Thailand 5 juta ton per tahun.
“Maka konsekuensinya, angka impor menjadi naik dan mempengaruhi pemasukan dalam negeri. Belum lagi, ketergantungan impor produk petrokimia menyebabkan industri hilir rapuh terhadap dinamika nilai tukar mata uang,” paparnya.
Sigit meyakini, Indonesia berpotensi bisa menjadi pusat pertumbuhan industri petrokimia, bahkan bisa kompetitif di tingkat ASEAN maupun Asia. Hal ini karena Indonesia memiliki potensi cadangan minyak dan gas hingga 7,5 miliar barrel dan 150 triliun cubic feet serta cadangan batu bara 30 miliar ton.
“Sumber daya ini belum digunakan secara optimal dan selama ini hanya diekspor,” ungkapnya.
Untuk itu, perlunya hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri dan sumber daya saing.
“Kita harus mengubah cara pandang terhadap kekayaan alam domestik, bukan lagi sekedar komoditas perdagangan. Tetapi, harus digunakan sebagai pendukung sektor industri,” ujar Sigit.
Kemenperin mencatat, sepanjang tahun 2015-2017, pertumbuhan industri petrokimia berbasis migas masih dipengaruhi oleh kenaikan harga gas. Pasalnya, bahan baku gas membentuk 70 persen terhadap struktur biaya produksi pada sektor tersebut.
Oleh karena itu, dalam upaya mempercepat realisasi investasi di industri petrokimia, Kemenperin telah mengusulkan agar sektor ini perlu mendapatkan penurunan harga gas. Dipastikan, dengan harga gas yang kompetitif, daya saing industri petrokimia nasional semakin meningkat.
Sigit menyebutkan, peningkatan produktivitas dan daya saing industri petrokimia nasional, antara lain dipengaruhi oleh ketersediaan pasokan dan keterjangkauan harga bahan baku dan energi.
Selanjutnya, keterpaduan industri petrokimia dengan sektor hulu migas, sistem logistik transportasi dan pelabuhan yang dapat diandalkan, pembangunan kompetensi SDM, serta penfaatan riset dan teknologi industri.
“Beberapa subsektor industri telah memasuki revolusi industri keempat atau Industry 4.0, salah satunya adalah industri petrokimia. Kami berharap, pembangunan inovasi teknologi informasi ini, khususnya di sektor manufaktur, dapat mendorong industri nasional lebih produktif dan berdaya saing,” tuturnya.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa sedikitnya ada tiga perusahaan yang telah menyatakan minatnya untuk berinvestasi dalam pengembangan sektor industri petrokimia di Indonesia.
“Mereka akan memproduksi kebutuhan bahan baku kimia berbasis nafta cracker di dalam negeri. Sehingga nanti kita tidak perlu lagi impor,” tegasnya.
Pertama, PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. selaku industri nasional, akan menggelontorkan dana sebesar USD 6 miliar sampai tahun 2021 dalam rangka peningkatan kapasitas produksi. Pada tahun 2017, perseroan berinvestasi sebesar USD 150 juta untuk menambah kapasitas butadiene sebanyak 50 ribu ton per tahun dan polietilene 400 ribu ton per tahun.
Kedua, industri petrokimia asal Korea Selatan, Lotte Chemical Titan akan merealisasikan investasinya sebesar USD3-4 miliar untuk memproduksi nafta cracker dengan total kapasitas sebanyak 2 juta ton per tahun. Bahan baku kimia tersebut diperlukan untuk menghasilkan ethylene, propylene dan produk turunan lainnya.
Selanjutnya, ketiga, manufaktur besar Thailand, Siam Cement Group (SCG), juga berencana membangun fasilitas produksi nafta cracker senilai USD 600 juta di Cilegon, Banten.
“Dengan tambahan investasi Lotte Chemical dan PT Chandra Asri Petrochemical Tbk., Indonesia akan mampu menghasilkan bahan baku kimia berbasis nafta cracker sebanyak 3 juta ton per tahun. Bahkan, Indonesia bisa memposisikan sebagai produsen terbesar ke-4 di ASEAN setelah Thailand, Singapura dan Malaysia,” pungkas Airlangga.
Sumber: http://kemenperin.go.id
Editor: Hendri Kurniawan