Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyampaikan bahwa ekspor nonmigas bulan Juli 2018 tercatat sebesar USD 14,81 miliar atau meningkat 19,0% dibanding bulan yang sama tahun lalu (YoY).
Menurutnya, capaian nilai ekspor ini adalah yang tertinggi hingga pertengahan 2018, bahkan hampir menyamai capaian nilai ekspor bulanan tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, yaitu USD 14,82 miliar di tahun 2011.
“Kinerja ekspor bulan Juli 2018 menunjukkan sinyal positif dalam upaya pencapaian target ekspor yang telah ditetapkan pemerintah,” ujarnya pada Kamis (23/8).
Enggartiasto menuturkan bahwa secara kumulatif ekspor nonmigas Januari–Juli 2018 mencapai USD 94,21 miliar. Nilai ini tumbuh 11,1% dibanding periode yang sama tahun 2017 (YoY) yang sebesar USD 84,83 miliar.
“Pencapaian kinerja ekspor tersebut memperkuat optimisme pencapaian target pertumbuhan ekspor nonmigas 11% tahun ini,” tuturnya.
Ia juga menerangkan bahwa beberapa komoditas utama ekspor nonmigas yang berkontribusi terbesar terhadap peningkatan ekspor Januari–Juli 2018 adalah bijih, kerak, dan abu logam (HS 26); besi dan baja (HS 72); bubur kayu/pulp (HS 47); berbagai produk kimia (HS 38); dan benda-benda dari besi dan baja (HS 73).
“Kenaikan ekspor beberapa komoditas tersebut disebabkan oleh menguatnya harga ekspor, terkecuali untuk komoditas bijih, kerak, dan abu logam (HS 26). Menguatnya harga ekspor terindikasi dari adanya kenaikan nilai ekspor yang lebih besar dari kenaikan volumenya,” terang Enggartiasto.
Enggartiasto mengungkapkan bahwa ekspor ke China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan Taiwan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan ekspor nonmigas Januari–Juli 2018.
“Naiknya ekspor ke negara-negara ini didukung oleh peningkatan permintaan pasar dalam negeri mereka,” ungkapnya.
Peningkatan impor bulan Juli merupakan respons terhadap kebutuhan industri nasional untuk pemenuhan ekspor dan kebutuhan di dalam negeri. Total impor bulan Juli 2018 mencapai USD 18,27 miliar, atau naik 31,5% dari Juli 2017 (YoY) yang sebesar USD 16,24 miliar.
Dibanding Juli 2017, impor barang konsumsi Juli 2018 naik 60,8% menjadi USD 1,72 miliar. Sementara itu, impor bahan baku/penolong dan barang modal masing-masing naik 30,1% menjadi USD 13,68 miliar dan naik 24,8% menjadi USD 2,88 miliar.
“Secara kumulatif total impor Januari–Juli 2018 mencapai USD 107,32 miliar, naik 24,5% dari Januari–Juli 2017 (YoY) yang sebesar USD 86,22 miliar,” tandas Enggartiasto.
Peningkatan nilai impor tersebut didorong oleh kenaikan impor seluruh klasifikasi barang. Barang modal naik 30,4%, bahan baku/penolong naik 23,0%, serta barang konsumsi naik 27,0% (YoY).
Peningkatan impor bahan baku/penolong merupakan respons terhadap kebutuhan industri nasional untuk memenuhi permintaan pasar ekspor dan untuk memenuhi permintaan dalam negeri yang meningkat. Kebutuhan-kebutuhan ini di antaranya untuk kebutuhan selama pelaksanaan ajang internasional yang dilaksanakan di Indonesia. “Bahan baku/penolong yang mengalami kenaikan signifikan adalah bahan bakar dan pelumas; bahan baku untuk industri primer maupun proses; suku cadang dan perlengkapan barang modal; serta perlengkapan alat angkut,” jelas Enggartiasto.
Sementara itu, barang konsumsi yang impornya meningkat signifikan antara lain adalah alat angkutan bukan untuk industri; dan barang konsumsi tidak tahan lama seperti pendingin ruangan serta makanan dan minuman olahan untuk rumah tangga.
“Sedangkan untuk barang modal, yang impornya naik adalah alat angkutan untuk industri dan barang modal bukan berupa alat angkutan,” ucapnya.
Enggartiasto memaparkan bahwa Kemendag mempersiapkan berbagai langkah untuk menyikapi defisit neraca perdagangan. Langkah-langkah tersebut akan ditempuh dengan menggalakkan ekspor ke negara-negara nontradisional dan mengurangi hambatan akses pasar di negara-negara tujuan ekspor.
Di bidang impor, Kemendag tengah melakukan langkah-langkah pengendalian impor barang konsumsi. “Kemendag juga bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan untuk membahas rencana pengenaan pajak penghasilan (PPh) terhadap barang impor yang sudah ada substitusinya di dalam negeri,” paparnya.
Menurut Enggartiasto, tingginya permintaan impor yang naik lebih besar daripada kenaikan ekspor mengakibatkan neraca perdagangan bulan Juli 2018 mengalami defisit sebesar USD 2,03 miliar.
“Defisit tersebut bersumber dari defisit perdagangan migas sebesar USD 1,19 miliar dan defisit perdagangan nonmigas sebesar USD 842,2 juta. Tingginya defisit perdagangan bulan Juli 2018 membuat defisit neraca perdagangan selama Januari–Juli 2018 mencapai USD 3,09 miliar,” pungkasnya.
Sumber: https://jpp.go.id
Editor: Eva Ulpiati