Di dalam siaran pers bersama antara Bank Indonesia, Kantor Riset Makroekonomi ASEAN+3 (ASEAN+3 Macroeconomic Research Office – AMRO) dan Asian Development Bank (ADB), ketiga lembaga tersebut menyampaikan bahwa para pembuat kebijakan di Asia perlu memperkuat kerja sama guna memanfaatkan potensi teknologi keuangan baru bagi pertumbuhan inklusif.
“Pada saat bersamaan, mereka pun perlu bekerja sama guna memastikan bahwa mereka mampu merespons dengan lebih baik tantangan yang ditimbulkan fintech,” bunyi keterangan pers bersama tersebut.
Mereka menjelaskan bahwa teknologi baru seperti mobile banking, big data, dan jaringan transfer peer-to-peer telah memperluas jangkauan layanan keuangan kepada orang-orang yang sebelumnya tidak memiliki rekening bank atau tidak terjangkau bank, sehingga meningkatkan pendapatan dan standar hidup.
Namun, fintech juga membawa risiko penipuan siber, keamanan data, dan pembobolan privasi. Disintermediasi layanan fintech atau konsentrasi layanan di antara beberapa penyedia juga dapat menimbulkan risiko terhadap stabilitas keuangan.
Teknologi keuangan baru yang menyebar dengan begitu cepat adalah teknologi yang sangat menjanjikan untuk inklusi keuangan.
Asia harus mendorong lingkungan yang memungkinkan teknologinya berkembang serta memperkuat kerja sama kawasan guna membangun standar peraturan dan sistem pengawasan yang harmonis demi mencegah pencucian uang internasional, pendanaan teroris, dan kejahatan siber.
Teknologi adalah pemberdaya yang menghubungkan perekonomian dan sistem keuangan kita, yang tak hanya menyebarkan manfaat, tetapi juga risiko, melintasi batas negara.
Mengingat pesatnya pertumbuhan perekonomian di Asia Timur, para pembuat kebijakan perlu memahami dan mengelola dampak teknologi di dalam sistem keuangan kita demi mempertahankan stabilitas keuangan.
Asia, termasuk Indonesia, merupakan tempat ideal bagi teknologi finansial untuk berkembang. Indonesia memiliki lebih dari seperempat juta masyarakat yang tersebar di ribuan pulau, menunggu untuk terintegrasi dengan teknologi baru; struktur demografi muda, dengan semangat untuk memasuki dunia digital masa depan; lebih dari 50 juta UMKM yang tak sabar menanti untuk terlibat dalam e-commerce; masyarakat baru yang didorong oleh kelompok kelas menengah yang dinamis dan demokratis, yang memandang ekonomi digital sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, seperti layaknya evolusi.
Meskipun Asia mengalami pertumbuhan perekonomian yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir, sektor keuangan masih tertinggal di sejumlah negara. Kurang dari 27% orang dewasa di kawasan Asia yang sedang berkembang sudah memiliki rekening bank, jauh di bawah median global sebesar 38%.
Sementara itu, hanya 84% dari perusahaan di kawasan ini sudah memiliki rekening giro atau tabungan, setara dengan Afrika tetapi ketinggalan dari Amerika Latin yang mencapai 89% dan 92% di emerging Europe (kawasan Eropa Tengah dan Timur).
Inklusi keuangan dapat ditingkatkan melalui kebijakan yang mendorong inovasi keuangan, dengan meningkatkan literasi keuangan, serta dengan memperluas dan meningkatkan infrastruktur dan jaringan digital.
Peraturan untuk mencegah kegiatan ilegal, meningkatkan keamanan siber, dan melindungi hak dan privasi konsumen, juga akan membangun keyakinan terhadap teknologi keuangan yang baru.
Editor: Eva Ulpiati