Perekonomian Indonesia saat ini dinilai telah berada di jalur yang benar (on the track) dan mengarah pada tren pertumbuhan positif. Hal ini didukung dengan berbagai upaya strategis pemerintah seperti menjaga stabilitas politik, peningkatan level pendidikan, serta menciptakan keamanan di dalam negeri.
“Dari geoekonomi, Indonesia sudah masuk dalam one trillion club. Dan, Bapak Presiden Jokowi berhasil untuk terus mendorongnya. Saat ini, pertumbuhan ekonomi kita lebih tinggi dibanding rata-rata dari pertumbuhan ekonomi ASEAN,” ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto di Jakarta, Selasa (13/2).
Airlangga menuturkan bahwa dengan upaya strategis pemerintah tersebut, perekonomian Indonesia terus mengalami perbaikan dari berbagai aspek selama lima belas tahun terakhir.
“Capaian positif itu, antara lain Indonesia menjadi negara populasi tenaga kerja terbesar ke-4 di dunia, dengan jumlah mencapai 30 juta pekerja dan rata-rata gaji pekerja telah naik dalam dua kali lipat,” ungkapnya.
Selama lima belas tahun terakhir, nilai investasi Indonesia telah naik 13 kali lipat dari 22 persen menjadi 34 persen pada Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pertumbuhan konsumsi masyarakat domestik mengalami peningkatan delapan kali lipat dan saat ini berkontribusi sebesar 55 persen pada PDB. Diikuti dengan kapitalisasi pasar modal, naik 15 kali lipat, yang nilainya kini setara mencapai USD 500 miliar.
Sementara itu, dukungan dari sektor industri manufakur nasional, daya saing dan nilai tambahnya ikut mengalami peningkatan. Hal ini dilihat berdasarkan kontribusi ekspor produk manufaktur sebesar 74 persen terhadap nilai ekspor Indonesia pada tahun 2017.
“Nilai ekspor industri pengolahan naik 13,14 persen dari tahun 2017 dibanding 2016,” tutur Airlangga.
Beberapa industri pengolahan yang menyumbangkan ekspor cukup signfikan tahun 2017, yaitu industri kelapa sawit sebesar Rp 287,24 triliun, industri logam Rp 141,16 triliun, industri makanan Rp 134,93 triliun, industri alat transportasi Rp 116,63 triliun, industri elektronika Rp 105,94 triliun, industri pakaian jadi Rp 90,31 triliun, industri pulp dan kertas Rp 84 triliun, serta industri logam Rp 59,9 triliun.
“Produk-produk manufaktur tersebut menunjukkan daya saing yang kuat dan memiliki nilai tambah tinggi,” tandas Airlangga.
Airlangga menjelaskan, dari sisi manufacturing value added (MVA), Indonesia mampu menempati posisi tertinggi dibanding negara-negara di ASEAN. MVA Indonesia mencapai 4,84 persen, sedangkan rata-rata di ASEAN berkisar 4,5 persen. Bahkan, untuk tingkat dunia, Indonesia berada di peringkat ke-9.
“Saat ini, negara tujuan ekspor utama kita antara lain adalah China, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Singapura,” jelasnya.
Adapun lima negara yang berkontribusi besar melalui investasi di Indonesia sepanjang tahun 2017, yaitu Jepang yang menanamkan modal hingga USD 2,13 miliar, diikuti Singapura USD 2,05 miliar, China USD 1,14 miliar, Korea Selatan USD 0,93 miliar, dan Swiss USD 0,32 miliar
Menurut Airlangga, pertumbuhan dan ekspor industri yang mencatat lonjakan tajam, terjadi pada sektor pengolahan logam dan mineral. Hal ini karena kebijakan hilirisasi industri yang didorong Kementerian Perindustrian dalam upaya meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia.
“Kita punya beberapa klaster industri baja. Sektor ini sebagai mother of industry. Di Cilegon misalnya, kapasitas produksi hari ini mendekati lima juta ton per tahun dan ditargetkan mencapai 10 juta ton pada tahun 2025,” paparnya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki klaster industri baja di Morowali, Sulawesi Tengah. “Sebelumnya, kita mengekspor yang namanya nickel ore, tetapi saat ini kita sudah memproduksi tiga juta ton nickel pig iron dan 1,5 juta ton produk tengahnya berupa stainless plat,” imbuhnya.
Kemudian, di kawasan industri Konawe, Sulawesi Tenggara akan menghasilkan nickel pig iron sebanyak dua juta ton pada tahun 2018. “Jadi, di akhir tahun ini, kita akan punya baja berbasis nikel hampir empat juta ton atau setara dengan produksi seluruh Eropa. Tahun depan, kita naikkan targetnya mencapai lima juta ton dan akan bisa menjadi produsen stainless steel terbesar kedua di dunia,” ucapnya.
Airlangga menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya memperdalam struktur industri nasional. Tujuannya agar dapat masuk di dalam rantai pasok global.
“Di Batulicin, Kalimantan Selatan, sedang dibangun pabrik dengan kapasitas produksi carbon steel sebesar dua juta ton. Kita lihat yang berbasis alumunium, juga akan meningkat dari produksi di Kalimantan Barat,” tegasnya.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), industri logam dasar merupakan salah satu subsektor yang mengalami pertumbuhan cukup tinggi sebesar 7,05 persen pada kuartal IV tahun 2017. Capaian ini di atas pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,07 persen tahun 2017.
Di samping itu, kelompok industri logam, mesin dan elektronik mencatatkan sebagai subsektor yang menunjukkan perkembangan investasi terbesar kedua di Indonesia, dengan kontribusi sebesar Rp 64,10 triliun. Capaian ini di atas perolehan investasi dari industri kimia dan farmasi sebesar Rp 48,03 triliun. Sedangkan, yang tertinggi dari industri makanan sebesar Rp 64,74 triliun.
“Pemerintah terus berkomitmen untuk menjalankan kebijakan pengembangan daya saing investasi di Tanah Air. Hal ini terlihat dari kenaikan peringkat ease of doing business. Kemudian, pemerintah juga tengah berupaya untuk memberikan insentif fiskal guna memberikan daya tarik bagi industri,” tambah Airlangga.
Misalnya, pemberian fasiitas tax allowance untuk sektor industri padat karya berorientasi ekspor. Selain itu, tax allowance sebesar 200 persen bagi industri yang mengembangkan pendidikan vokasi, serta tax allowance 300 persen bagi perusahaan yang aktif dalam kegiatan riset dan pengembangan (R&D).
“Alasan utama mengapa investor asing berminat menanamkan investasi di Indonesia adalah potensi pertumbuhan pasar domestik serta kondisi pasar domestik saat ini. Selanjutnya, tenaga kerja dengan upah yang lebih kompetitif serta adanya supply base untuk industri perakitan,” pungkas Airlangga.
Sumber: http://kemenperin.go.id/
Editor: Hendri Kurniawan