Home Opini Kewajiban Divestasi Freeport, Menggapai Kemandirian Bangsa Sektor Tambang

Kewajiban Divestasi Freeport, Menggapai Kemandirian Bangsa Sektor Tambang

53
0
SHARE

“Negosiasi, persekongkolan, konspirasi, tolong dibantu, saya menolong mereka, pembicaraan tertutup, ini kepentingan Amerika, investasi untuk kesejahteraan.”

Itulah kalimat-kalimat yang selalu muncul semenjak pembicaraan soal Freeport mulai mengemuka. Awal masuk, pasca Freeport suplur-FMC/FCX, kontrak karya ke I-II dan kini dikenal dengan negosiasi divestasi saham. Jadi, negosiasi bukan hal baru ketika berurusan dengan Freeport.

Awal masuk ke Papua dengan memanfaatkan situasi konflik G30S di negara Indonesia dan perang dunia II. Tanggal 10 Januari 1967 usai Bung Karno yang tak berdaya itu meneken UU PMA. Februari 1966, Julius Tahija seorang tentara berbisnis (julukannya) menyambut rombongan Freeport di Jakarta.

April 1967, Freeport teken kontrak. Antara persengkokolan dan niat menjadikan modal asing sebagai devisa negara, toh, keberadaan Freeport tak bermanfaat.

Lima puluh tahun bebas dengan kontrak karya, kini patuhi IUPK dengan batasan (Perpres 1 Tahun 2017) ekspor, divestasi 51 persen saham serta smelter. Bagaikan langit terpecah, disaat Freeport sudah jauh-jauh hari menghitung kerugian dan keuntungan mereka melalui bisnis di Grassberg.

Freeport dikenal dunia sebagai perusahaan raksasa tembaga setelah menggenggam tanah Amungsa. Tembagapura, Eaztberg (1967-1992), Grassberg (1996-2021) hingga rencana Tambang Bawah Tanah (2022-2041).

Kini, nasib Freeport terguncang lantaran kewajiban divestasi yang disepakati dengan pemerintah Indonesia. Harga saham tak laku, utang tak bisa lunas, kewajiban dividen pun tersendat bahkan untuk memajukan bisnisnya di sektor lain tetap tidak ada pengaruhnya sampai urusan mereka dengan pemerintah Indonesia harus tuntas.

Antara Negosiasi atau kongkalingkong?

Hingga akhir tahun 2017, Negosiasi yang tadinya terbuka oleh Kementerian ESDM sejak Februari-Agustus 2017, kini oleh BUMN Holding Inalum yang dipercayakan pemerintah memilih tidak terlalu mengekspos perkembangan tersebut. Bahkan, kabar terakhir mereka konsen soal saham tak bertuan milik  Rio Tinto senilai 40 persen. Ini negosiasi atau persekongkolan?

Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan nasional yang mengatur dan mengikat seluruh pemegang ijin usaha pertambangan, termasuk Freeport. Diantaranya, kewajiban divestasi, wajib bangun smelter, wajib pakai skema replacement pada peralihan saham dan skema prevailing pada pajak.

Menjelang akhir tahun, objek negosiasi Freeport meleset ketika petugas negosiasi lebih fokus pada saham patungan yang dimiliki Rio Tinto. Artinya, pemangku kewajiban divestasi tidak melakukan kewajibanya. Bila tetap berjalan dengan skema pembicaraan antara Inalum dengan Rio Tinto, berari kewajiban divestasi Freeport tak sampai 51 persen, hanya berkisar 5 persen.

Saham versus Aset

Isu yang mengemuka pasca pertemuan perusahaan tambang logam yang di inisiasi oleh Rio Tinto di Australia pada akhir tahun 2017 adalah masalah kebijakan yang membatasi ijin pertambangan di seluruh dunia. Kemudian kepekaan akan iklim global.

Suprastruktur di berbagai negara dianggap tak mendukung iklim keberlanjutan investasi di sektor bahan logam berharga seperti emas, tembaga, batubara serta perak.

Sementara permintaan dunia untuk penggunaan bahan bahan dari tembaga berupa listrik, jalan, dan infrastruktur lainya meningkat. Dunia butuh 50 juta ton tembaga di masa yang akan datang, namun dari 10 perusahaan tambang besar di dunia, belum ada yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.

Pada Quartal 2017, Freeport McMoRan memiliki hasil yang kuat dari operasi globalnya dengan peningkatan produksi yang menonjol di salah satu tambang terbesar di Grasberg.

Freeport McMoran beroperasi terutama di pasar tembaga, sebagai salah satu produsen tembaga terbesar di dunia. Pasar memiliki prospek pemulihan yang kuat ke depan. Ada permintaan positif yang signifikan untuk tembaga di seluruh dunia karena sektor manufaktur berkinerja baik dan harga tembaga telah pulih hampir 50 persen.

Demi mengawal sahamnya, Freeport mewanti-wanti pemerintah bahwa mereka akan menggunakan pilihan arbitrase sebagai langkah penyelesaian bila kemauan freeport tak di iikuti soal harga pasar wajar. Sementara pemerintah terus mengejar kewajiban freeport soal smelter.

Freeport seketika menerima ketentuan IUPK maka dengan sendirinya, pilihan arbitrase telah gugur dengan sendirinya karena IUPK tak menganut penyelesaian sengketa via arbiter.

Tembaga sangat penting bagi pembuatan hampir semua hal yang dibutuhkan untuk menjalani standar hidup kita saat ini seiring semakin bertambahnya industri, demikian juga permintaan akan tembaga meningkat.

Selain itu, masalah sisi penawaran utama tetap tidak ada proyek besar yang ada dan rendahnya cadangan saham yang ada.

Perkiraan saat ini menunjukkan bahwa 5 juta metrik ton proyek baru akan dibutuhkan dalam dekade berikutnya, sesuatu yang tidak akan ditemukan dalam proyek yang ada, mendorong kenaikan harga. Ini berarti terus meningkatnya arus kas untuk Freeport McMoRan karena terus mempertahankan produksi tembaga.

Salah satu sumber utama permintaan tembaga adalah bidang kendaraan listrik dan berkembang pesat. Teknologi terbarukan yang berusaha memberantas polusi iklim dari kendaraan. Pertumbuhan yang cepat diperkirakan dari dekade berikutnya yang harus meningkatkan penggunaan tembaga tahunan tambahan lebih dari 1 juta metrik ton pada tahun 2025, sesuatu yang memerlukan beberapa proyek tembaga kelas dunia.

Kebijakan divestasi di Indonesia bukan semata-mata penguasaan saham mayoritas tetapi bagaimana pemerintah benar-benar ingin memanfaatkan tambang tembaga sebagai aset bangsa demi kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, Freeport tetap mewaspadai proses tersebut agar tidak anjlok saham mereka akibat negosiasi.

Kemandirian di awali dari Grassberg

Freeport sepakat menjalankan ketentuan IUPK sehingga pada Agustus 2017 Freeport sepakat untuk patuhi kewajiban divestasi saham 51 persen, wajib bangun smelter dan wajib bayar pajak prevailing. Itu artinya perusahaan tunduk pada regulasi negara.

Namun, tentang mekanisme pembelian/peralihan saham belum ada titik terang. Wajib replacemen oleh pemerintah dan berkokoh di skema harga wajar oleh Freeport.

Tahun 2018 harus dimajukan negosiasi ini. Sebab, roda produksi Freeport sendiri telah menaruh alur kerja mereka sesuai ketentuan kontrak karya sembari meminjam ketentuan IUPK untuk melakukan pembicaraan dengan pemerintah.

Alur produksinya diawali dari tahun 2019 sudah memasuki tambang bawah tanah. Tahun 2018 sebagai pra. Menjelang akhir tahun 2018, Freeport McMoRan berencana membayar sekitar 75% dari hutangnya. Pelunasan hutang tersebut akan mengurangi biaya bunga perusahaan.

Salah satu sumber uang untuk bayar utang ialah melalui divestasi dari Indonesia. Seharusnya kepentingan perusahaan dikesampingkan daripada kepentingan negara. Sebab, negara mengatur soal hajat hidup orang banyak. Sementara perusahaan hanya memberi kenyang para pemegang sahamnya. Busines to Busines (B to B) or Busines to Government (B to G).

Menggapai kemandirin dari sebuah negara memang harus memastikan bahwa kebijakan divestasi tidak harus berakhir dengan kongkalingkong belaka.

 

Arkilaus Baho

Penulis adalah Fungsionaris di Dewan Pimpinan Pusat Jaringan Kemandirian Nasional (DPP JAMAN)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here