Home Opini Paradoks Keajaiban Flores Pancasila, Bung Karno, Homo Floresiensis, dan Kemiskinan

Paradoks Keajaiban Flores Pancasila, Bung Karno, Homo Floresiensis, dan Kemiskinan

51
0
SHARE

Flores, Pancasila dan Bung Karno itu bagai api dengan asap. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Makanya, ingat Pancasila, ingat Bung Karno. Ingat Bung Karno, pasti ingat Flores. Namun, tidak hanya sebatas itu. Ingat Flores, juga ingat 5 keajaiban alam semesta yang hanya ada di pulau yang dilabel sebagai surga bagi para wisatawan tersebut.

Di Flores ada Komodo, satu-satunya peninggalan hewan dinosaurus terakhir di dunia yang masih hidup sejak 45 juta tahun lalu hingga saat ini. Ada 3 gugus danau dengan warna yang berbeda, Kelimutu, yang pertama kali ditemukan oleh seorang komandan militer Belanda bernama B. van Suchtelen pada tahun 1915. Ada pasir pantai berwarna merah muda (pink beach). Dan, ada juga fosil gajah purba kerdil, Stegodon sondaari dan Stegodon florensis. Dua spesies ini kalah besarnya dengan gajah yang berada di Jawa, Stegodon trigonocephalus.

Ternyata misteri dan magnet Flores tidak hanya berhenti pada fosil gajah purba kerdil. Teranyar, adalah temuan harta arkeologi dan jejak peradaban dunia, yaitu Homo floresiensis, yang baru di umumkan sebagai temuan arkeologi yang menghebohkan pada bulan September 2003, sebuah kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dan tim Australia dipimpin oleh Prof. Dr. Mike Morwood dari University of New England.

Jejak peradaban manusia purba Flores dengan tinggi 100 cm tersebut mulai tersingkap oleh Pastor Thedore Verhoeven, SVD sejak tahun 1946 di Goa Liang Bua, Dusun Rampasasa, Kabupaten Manggarai, Flores. Para ilmuwan melabelnya sebagai manusia kerdil. Manusia kerdil itu mirip tokoh hobbit dalam film Lord of the Rings yang disadur dari novel karangan J.R.R Tolkien. Spesies itu kemudian dibaptis dengan nama Homo floresiensis oleh Prof. Dr. Mike Moorwod pada hari Kamis, 28 Oktober 2004.

Keajaiban perihal harta arkeologi dan peradaban di Flores yang telah menghebohkan dan mengguncang dunia arkeologi tersebut, tidak hanya karena merupakan penemuan jejak peradaban manusia paling spektakuler di abad ini, tetapi juga, menjadi perdebatan yang tak berujung bagi para ahli. Bernard Wood (2004) dari Universitas George Washington mengatakan bahwa ini merupakan penemuan yang paling penting dalam evolusi manusia selama 100 tahun terakhir ini. Dan, bahkan, terinspirasi dari temuan ini, saya pernah menulis kalau Bung Karno itu dari Flores keturunan Homo floresiensis. Mengapa tidak?

Para ilmuwan menyimpulkan bahwa Homo Floresiensis, bukan bagian spesies manusia modern dari bangsa Homo sapiens, seperti yang diklaim oleh Prof Teuku Jacob dan para peneliti dari UGM, melainkan spesies yang berbeda. Tulang Homo floresiensis berbeda dari tulang Homo sapiens (manusia modern) maupun Homo neanderta. Homo floresiensis lebih primitif daripada Homo sapiens dan berada pada wilayah variasi Homo pithecanthropus erectus. Fosil manusia purba Flores itu diperkirakan setara dengan Pithecanthropus erectus (manusia purba Jawa) yang ditemukan di Bengawan Solo oleh Eugene Dubois dan Koenigswald. Kesimpulan ini diperkuat dengan ditemukannya perkakas batu di Goa Liang Bua yang digunakan oleh Homo floresiensis dan juga digunakan oleh Homo pithecanthropus erectus, seperti yang ditemukan di Sangiran di perbatasan Karanganyar dan Sragen.

Temuan Homo floresiensis di Liang Bua ini menunjukkan peradaban Pulau Flores sudah sangat tua. Peradaban Homo Floresiensis diperkirakan setara dengan Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Bengawan Solo. Homo erectus dipercaya berasal dari Afrika dan bermigrasi selama masa Pleistocene awal sekitar 2 juta tahun yang lalu, dan terus menyebar ke seluruh dunia hingga mencapai Asia Tenggara. Tulang-tulang yang diperkirakan berumur 1.8 dan 1 juta tahun telah ditemukan di Afrika (Danau Turkana dan Lembah Olduvai), Eropa (Georgia), dan di Indonesia (hanya Jawa dan Flores).

Bukan hal baru kalau Flores dinobatkan memiliki peradaban yang paling tua. Bahkan, Flores, NTT dan Maluku, diduga sebagai sisa dari Benua Atlantis yang hilang itu, pusat asal muasal peradaban dunia. Profesor Santos (teori Atlantis Santos) dan Prof. Oppenheimer (teori Sundaland Oppenheimer) dalam bukunya “Eden In the East”, menyimpulkan bahwa Eden (taman Eden dalam Kitab Kejadian) ada di Timur.

Prof Santos, yang memiliki nama lengkap, Arysio Nunes dos Santos, berkebangsaan Brazil, ahli Fisika Nuklir ini menyatakan bahwa Atlantis tidak pernah ditemukan karena dicari di tempat yang salah. Lokasi yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia, katanya. Dia mengatakan bahwa dia sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini. Lebih lanjut, Prof. Dr. Stephen Oppenheimer, ahli genetika terkemuka dari Inggris menyatakan bahwa dunia barat telah salah menilai asal mula peradaban manusia modern dengan memarjinalkan kawasan timur khususnya, Flores, NTT dan Maluku.

Flores, Homo Floresiensis dan Bung Karno

Menarik untuk melacak hubungan antara Flores dan Bung Karno. Flores menyimpan sejumlah misteri dan sejarah panjang perihal sepak terjang Bung Karno selama empat tahun (14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938) menjalani pertapaan di Flores. Saya lebih memilih kata “pertapaan” daripada “pengasingan” yang lebih berbau politik kolonialis Belanda. “Pulau Bunga akan tetap kekal melekat dalam kenanganku,” kata Bung Karno. Hari itu, Selasa, jam 08:00 pagi, 14 Januari 1934, Bung Karno dan isterinya Ibu Inggit Garnasih, bersama Ratna Djuami (anak angkat), serta mertuanya Ibu Amsi, pertama kali menjejakan kaki di Ende, Flores. KM van Riebeeck yang membawa Putra Sang Fajar itu ke tanah Homo floresiensis itu.

Mengapa Flores? Kenapa Flores? Pertanyaan ini yang selalu ditanyakan oleh Bung Karno, dan juga Ibu Inggit. Belum ada jawabannya hingga saat ini. Tetap menyisakan misteri. Namun, temuan manusia purba Flores dan dugaan Flores sebagai pusat perdaban dunia, seperti diuraikan di atas, setidaknya, menjadi lilin untuk menerangi kegelapan keterbatasan pengetahuan, sekaligus memberi harapan baru untuk mengungkap misteri tersebut.

Teori biogenesis membantu kita menyingkap tabir misteri hubungan Bung Karno dan Flores. Teori biogenesis adalah suatu teori yang mengemukakan bahwa asal kehidupan suatu makhluk hidup berasal dari makhluk hidup pula. Salah satu semboyan teori Biogenesis adalah “omne vivum ex vivo”, artinya, makhluk hidup berasal dari makhluk hidup yang telah ada. Para pendukung teori ini diantranya adalah Francisco Redi, Spallanzani, dan Louis Pasteur. Dengan menggunakan teori ini, maka Homo floresiensis atau Homo pithecanthropus erectus merupakan nenek moyang dari Homo sapiens (manusia modern), yang kemudian menjadi nenek moyang bagi Manusia Jawa dan Flores. Nenek moyangnya kita semua, termasuk Bung Karno.

Dalam konteks ini, Bung Karno bertapa ke Flores, bukan sebuah kebetulan sejarah. Bukan pula semata-mata karena Pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi, karena “dipanggil kembali” ke tanah leluhurnya. Ini sama persis dengan orang-orang Yahudi yang kembali ke Israel dari pembuangan di Babilonia oleh Raja Nebukadnezar II pada tahun 586 SM. Bagi Bung Karno, ini merupakan pengalaman spiritual. Di Flores, Bung Karno mendapat kekuatan spiritual, ilham dan restu dari para leluhur untuk mengantar Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan dan memimpin Indonesia. Setidaknya, ada 4 bukti sejarah yang memperkuat argumentasi ini.

Pertama, Pancasila lahir dari Flores untuk Indonesia. Bung Karno merenungkan dan menghasilkan ide Pancasila yang menjadi dasar kehidupan bernegara Indonesia ketika di Flores. Siang malam, Bung Karno bertapa di bawah pohon sukun untuk mendapat ilham Pancasila tersebut. Pohon sukun tersebut kini telah menjadi pohon Pancasila.

Kedua, ramalan menjadi Presiden Indonesia. Flores, tidak hanya rahim bagi Pancasila yang diimani sebagai dasar negara, ideologi hidup, dan diskursus keilmuan Indonesia. Tetapi di Floreslah, awal mula ramalan kalau Bung Karno akan menjadi presiden pertama untuk sebuah negara baru yang namanya Republik Indonesia. Di Flores pula lah, Bung Karno diurapi menjadi Presiden Indonesia dan pertama kali dipanggil sebagai presiden.

Ada cerita terkait panggilan presiden kepada Bung Karno. Ketika Bung Karno masih di Ende, kalau Beliau berjalan dengan para pastor, Beliau selalu menempatkan diri berjalan di sebelah kiri. Suatu waktu, Pater Gerardus Huijtink, SVD memutuskan untuk berjalan di samping kiri Bung Karno. Bung Karno di kanan. Bung Karno langsung protes, katanya “Pater harus di kanan.” Namun jawab Pater Huijtink, “Tidak, Soekarno, Presiden Indonesia, harus di kanan.” Tujuh tahun kemudian, ramalan itu tergenapi dan panggilan Presiden yang disematkan ke Bung Karno kala itu menjadi nyata.

Ketiga, ramalan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Soneta keajaiban Flores, tidak hanya berhenti pada penemuan spektakuler si manusia Hobbit itu. “Copa de Flores”, nama baptis Pulau Flores, dari Bahasa Portugis, yang artinya “Tanjung Bunga”, adalah tempat pertama kali dimana Bung Karno, Sang Putra Fajar, meramalkan secara telak perihal Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan, saat di pulau yang namanya diberikan oleh M.S. Cabot, dan dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Hendrik Brouwer, Gubernur Jenderal Hindia Belanda; imajinasi burung Garuda, yang diimani sebagai lambang negara Indonesia, lambang keberagaman, kebhinekaan, dipilih secara meyakinkan oleh Bung Karno untuk menjadi simbol jati diri Indonesia.

Keempat, membumikan nilai-nilai toleransi dalam praktik untuk Indonesia. Selama di Flores, Bung Karno bergaul dengan siapa saja dari berbagai agama. Bung Soekarno memiliki waktu berdialog dengan para misionaris, terutama Pastor Paroki Ende, Gerardus Huijtink SVD. Semangat toleransi Bung Karno ini, dihidupi terus oleh orang Flores hingga menjadikan NTT sebagai propinsi paling toleran di Indonesia.

Kendati Flores tersohor ke seluruh dunia karena Homo floresiensis, Komodo, Kelimutu, Pancasila, dan Bung Karno, namun orang Flores masih dibekap kemiskinan. Hampir semua kabupaten di Flores masuk dalam kategori daerah tertinggal dan termiskin di Indonesia. Ternyata, kemiskinan itu mengerdilkan hingga manusia modern Flores, tidak hanya Stegodon florensis dan Homo floresiensis. Inilah paradoks keajaiban Flores, peradabannya tua setua kemiskinannya. Flores belum merdeka dari label kerdil dan kemiskinan.

Dirgahayu Indonesia.

 

Ferdinand Rondong

Anggota JAMAN Manggarai Timur-Flores

Sumber Artikel: http://www.swaranews.co.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here